Kaki yang Terus Melangkah

 "Hei."


Aku menoleh. Pandanganku yang sebelumnya dipenuhi oleh hamparan bunga kini diganti oleh pemandangan profil wajahnya yang sedang menatap jauh ke atas langit. Aku hendak menyahutnya, sebelum akhirnya dia melanjutkan kalimatnya yang tadi tergantung.


"Bolehkah aku cerita tentang..., temanku?"


Aku masih memandanginya yang juga masih menatap ke langit di atas sana. "Tentu."


Bahunya yang sedari tadi hanya diam saja kini terangkat bersamaan dengan tarikan napas kencang yang dia ambil. Aku begitu mengenali gestur ini. Secara otomatis, aku merubah posisi dudukku hingga menghadap sepenuhnya ke dia.


"Sepertinya aku pernah menceritakan temanku ini kepadamu. Kau ingat, dia yang selalu keras kepala mengejar apa yang dia mau? Yang demi mengejarnya, dia mengorbankan banyak hal dan melepas banyak hal?"


Sejenak aku menerawang, menyeleksi nama nama yang pernah muncul dari mulutnya. Berbekal kriteria yang diberikannya, nama nama itu mengerucut ke satu sosok. Dan itu..., ah.


Tidak peduli apakah aku sudah mengonfirmasi pertanyaannya atau belum, dia melanjutkan, "Akhirnya, dia berhasil mengejar apa yang dia mau. Dan hanya tinggal beberapa langkah lagi, dia akan sampai di titik itu."


Pandangannya masih terangkat jauh di atas sana, tapi kali ini, aku melihat ada senyum tipis singkat yang menghiasi wajahnya. Aku ikut tersenyum melihatnya. Sepertinya..., sosok yang kini ada di bayanganku itu benar, dia lah orang yang dia maksud.


"Aku selalu melihatnya. Melihat bagaimana dia jatuh bangun selama berlari. Betapa banyak yang dia lepas, pun betapa banyak yang hilang darinya tanpa dia bisa kendalikan. Beberapa kali hatinya hancur, beberapa kali dia merasa bahwa titik yang dia tuju itu sebenarnya tidak ingin menemuinya. Kau tahu? Dia hampir menyerah. Dia sudah menetapkan batas waktu kalau sebelum dia berganti usia dan dia belum bisa sampai ke titik tersebut, dia akan merubah jalur dan mencari tujuan yang sama sekali baru. Tapi akhirnya, dia berhasil mencapai titik yang sudah dia dambakan sejak kami masih sama sama bermain hal yang sama."


Bahunya kembali terangkat seiring dengan tarikan napasnya, seakan akan sedang berusaha mencerna kalimat panjang yang baru saja lepas dari mulutnya tersebut.


"Dia senang, tentu saja. Merasa bahwa apa yang dia bayangkan selama ini menemukan bentuknya. Tapi, entah mengapa, di satu waktu dia merasa begitu takut. Dia begitu takut akan masa depan yang ada dalam bayangannya. Dia takut jika masa depan itu tidak terjadi sesuai bayangannya, dia takut kalau sebenarnya, keberhasilannya mencapai titik itu adalah keberuntungan belaka. Dia merasa tidak pantas menerimanya... Ditambah lagi, jika dia tetap melanjutkan perjalanan, dia harus meninggalkan keluarga satu satunya karena tidak mungkin baginya membawanya. Jadi, meskipun beban besar sudah terangkat, masih ada beban beban lain yang dia pikul."


Aku menghembuskan satu napas berat. Dia pun kini menatap ke bawah sambil memainkan jari jarinya yang dia istirahatkan di kakinya yang bersila. Ada dorongan dalam diriku untuk merengkuh pundaknya, tapi sepertinya belum saatnya melakukan tersebut. Karena setelahnya, kepalanya kembali mendongak meski tak setinggi sebelumnya.


"Akhirnya dia mencoba menceritakannya ke temannya yang dia anggap sudah menjadi teman seperjuangannya, karena mereka melihat mimpi yang sama. Dia kira, dia akan mendapatkan dorongan di punggungnya sehingga dia bisa kembali bersemangat melakukan apa yang dia bisa lakukan sekarang saja daripada terlalu mengkhawatirkan apa yang belum terjadi. Konsep teman seperjuangan itu, seperti itu, kan? Ketika ada yang jatuh, akan saling membantu berdiri. Pun ketika ada yang berhasil melangkah lebih dekat, akan tetap mendukung. Tapi, kau tahu? Bukan dorongan dukungan yang dia dapat, tapi dorongan yang akhirnya membuat dia terjatuh dan terluka."


Dia menggigit bibirnya. Aku bisa merasakan aura yang mulai berubah di sekelilingnya. Rasanya seperti..., langit cerah yang aku lihat sebelumnya, kini mulai dihiasai awan awan hitam pekat.


"Temannya berkata, 'Kekhawatiran yang kamu rasakan itu adalah kemewahan bagiku.' Lalu, 'Seharunya kamu bersyukur. Ada ribuan orang yang mendambakan posisimu. Kalau kamu disuruh menggantikan posisimu ke aku, kamu nggak akan mau juga, kan?' Hingga akhirnya, 'Aku nggak mau dengar cerita apapun darimu yang berhubungan sama impian itu.' Mendengar itu, dia langsung meragukan dirinya sendiri. Dia bertanya tanya, apa memang salah dia merasa khawatir seperti itu? Apa memang tidak seharusnya dia punya perasaan khawatir seperti itu? Apa...apakah salah dia takut akan masa depan?"


Aku bisa merasakan gejolak emosi yang menghiasi kalimatnya. Dadanya naik turun mencoba menenangkan napasnya. Tangannya kini mengepal, dan dia menelan ludah sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya.


"Hingga akhirnya, sejak saat itu, dia menutup dirinya sendiri dan tidak pernah menceritakan apapun yang dia alami ke siapapun itu. Dia telan semua kekhawatirannya itu sendiri, dia telan semua rasa takut itu sendiri. Aku tahu, dia kesepian di sana. Dia sendirian. Tapi baginya, itu lebih baik daripada kembali tersakiti lagi oleh penilaian orang lain, karena setelah itu, dia tidak pernah percaya ada orang yang akan ikut berbahagia dengannya jika dia berhasil melakukan sesuatu. Bahkan dia merasa bahwa, punya teman seperjuangan yang melihat ke mimpi yang sama itu sama sekali tidak menyenangkan. Dia tidak percaya dengan ikatan teman seperjuangan. Hingga akhirnya dia semakin menutup diri, dan membiarkan orang lain hanya melihat sisinya yang tersenyum cerah, padahal dalam hati terjadi badai lebat."


"Tapi...," lanjutnya. "Tapi sekarang, dia mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Dia mencoba berdamai dengan kenyataan bahwa tidak semua orang akan mendukungnya sesuai harapannya. Dia mencoba berdamai dengan harapannya, dengan ekspektasinya. Aku tahu, dia masih begitu sakit meski sudah setengah tahun berlalu sejak dia mendengar kalimat temannya itu. Tapi dia tetap mencoba melangkah, sambil melakukan apa yang bisa dia lakukan saat itu. Kekhawatirannya tentu tetap ada, tapi kali ini dia mencoba berteman dengan kekhawatirannya tersebut."


Senyum kecil kembali menghiasi wajahnya. Kepalanya yang tadinya lurus menghadap ke pemandangan di hadapannya, kini kembali mendongak menatap langit di kejauhan sana. Angin lembut berhembus memainkan rambut depannya, hingga membuatnya memenjamkan mata sejenak.


"Lalu, apa yang terjadi dengan dia dan temannya setelah itu?" aku mencoba bertanya.


Dia menaikkan alisnya sambil menghembusnya napas. Sedikit menggigit bibir, dia menjawab, "Beberapa waktu lalu, dia menceritakan kondisi hatinya yang porak poranda tersebut ke temannya. Temannya terlihat menyesal sudah mengatakan hal tersebut. Temannya berkata bahwa itu karena dia frustasi dengan dirinya sendiri yang belum juga berhasil mencapai titik yang mereka harapkan tersebut. Dia juga bilang kalau dia sudah berdamai dengan kondisi tersebut jadi dia mau mendengar cerita apapun dari temanku itu. Tapi, temanku merasa bahwa sepertinya sudah cukup, dia tidak akan menceritakan apa apa lagi kepada temannya tersebut. Mungkin temannya sudah berdamai dengan kondisinya, tapi rasa sakit itu masih ada, dan tetap seperih saat pertama kali dia terluka. Toh, temannya tidak ada di sampingnya ketika dia melalui segala kekhawatiran dan kesulitannya itu, jadi dia merasa tidak berhutang cerita kepadanya. Kasarannya..., dia tidak pantas mendengar ceritanya karena dialah yang 'meninggalkannya' di saat saat genting tersebut. Yah, aku rasa itu adalah keputusan yang tepat baginya saat ini. Menyembuhkan diri sendiri tidak gampang, aku sadar... Jadi aku lebih mendukung dia untuk menyembuhkan dirinya sendiri dari rasa sakitnya tersebut."


Aku ikut tersenyum mendengarnya. Aku hampir mengeluarkan satu kalimat lagi sebelum akhirnya dia kembali melanjutkan cerita.


"Oh, kau tahu, meski dia 'kehilangan' salah satu dukungan yang dia harapkan itu, dia akhirnya sadar siapa siapa saja yang tulus mendukungnya. Pikirannya semakin terbuka kalau masih ada kok orang orang yang berbahagia untuknya, masih ada orang orang yang akan tulus mendukungnya. Dan dia akan melanjutkan perjalanan sambil memegang perasaan orang orang ini. Hehe, aku jadi semangat mendengar perjalanan apa yang akan dia tempuh setelah ini. Aku cuma berharap dia tidak akan disakiti separah ini lagi... Dan---"


Kalimatnya terputus segera setelah aku menghambur ke pelukannya. Badannya sedikit oleng karena mendadak terbebani oleh badanku. Tidak ada penolakan darinya, jadi aku semakin mengecangkan pelukanku sambil menepuk nepuk punggungnya.


"Kau sudah melakukan yang terbaik. Aku bangga padamu."


Dia gelagapan. "E-eh, ini cerita temanku kok..."


"Aku tahu, aku tahu."


Aku masih menepuk nepuk punggungnya..., yang kali ini mulai bergerak naik turun. Gerakan itu kini dihiasi dengan isakan yang kudengar dari dekapanku. Beban tubuhnya melemah, sehingga aku merasakan dia mulai memasrahkan tubuhnya ke dalam rengkuhan lenganku.


"Terima kasih sudah bertahan sampai sini... Dan semoga kau selalu ingat bahwa meskipun orang lain memalingkan wajahnya darimu, aku akan tetap di sini untukmu. Lenganku selalu terbuka untukmu, oke?"


Aku merasakan kepalanya bergerak membentuk satu anggukan. Padang bunga ini menjadi saksi bangkitnya sesosok yang meski memiliki kaki yang terluka di berbagai tempat, dia tetap berusaha mencapai titik yang dia harapkan sejak lebih dari 1 dasawarsa terebut. Dan dengan berhembusnya angin di sekitar kami, aku menitipkan doa agar sosok ini terus diberi kekuatan menjalani perjalanannya...

Komentar