Koyama Keiichiro menemukannya.
Di depan hamparan puluhan ribu kursi dan lampu yang hanya dihidupkan beberapa itu, seseorang sedang duduk membelakanginya. Jaketnya yang berwarna biru kontras sekali dengan sekelilingnya yang gelap, menambah aura sepi yang dirasakan Koyama terhadap sosok itu.
Merasa harus melakukan sesuatu, Koyama berjalan perlahan mendekatinya. Ia hanya tinggal berjarak beberapa langkah sebelum akhirnya sosok itu menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu. Dan Koyama merasakan ada yang berbeda dari sorot mata yang sudah sangat dikenalnya itu.
"Belum pulang, Tegoshi?" Koyama memulai pembicaraan, seperti biasa.
Menghembuskan napasnya secara perlahan, Tegoshi Yuya kembali menghadapkan kepalanya ke hamparan kursi di hadapannya. Pandangannya jauh menembus ke tingkat ketiga bangunan ini. Ia tetap dalam posisinya selama beberapa detik sebelum akhirnya kembali menoleh ke arah Koyama yang kini duduk di sebelahnya. Kali ini, ia menatap sosok yang lebih tua itu dengan senyum lebar.
"Aku nggak sabar ketemu Konekochan besok!" serunya dengan senang—yang Koyama tangkap sebagai pura-pura-senang. "Aaah, Tokyo Dome selalu jadi tempat terakhir yaa. Sedih banget bentar lagi tur NEWS selesai. Tau nggak, tadi—"
Koyama hanya tersenyum mendengarkan Tegoshi yang terus saja bercerita panjang lebar soal rehearsal mereka sebelumnya. Ia tahu, Tegoshi benar-benar menyukai bercerita tentang segala yang berhubungan dengan konser. Ia tahu, Tegoshi benar-benar bersemangat untuk hari terakhir dari serangkaian tur konser NEVERLAND mereka ini.
Dan ia tahu, Tegoshi menahan satu perasaan yang bertolak belakang dengan segala kesenangan yang sedang ia ceritakan itu.
Masih sangat berbekas di ingatannya, bagaimana beberapa hari yang lalu ia menerima telepon dari Tegoshi. Saat itu waktu menunjukkan hampir tengah malam dan Koyama sudah akan bersiap untuk tidur ketika ponselnya berdering.
"Keichan, datanglah ke sini," lirih suara di seberang sana. Lirih, sangat lirih. Koyama sampai tidak yakin kalau itu adalah suara dari nama yang tertera di layar ponselnya itu.
Tanpa menimbang-nimbang pilihan, ia mengiyakan permintaan rekan satu grupnya itu.
Dan dua puluh menit kemudian, ia melihat sosok yang biasanya berdiri tegap membusung itu sedang meringkuk di pojok ruangan.
Awalnya ia tidak terlalu paham dengan apa yang terjadi. Ia hanya mendengarkan cerita dari rekannya tersebut. Rambut pirangnya tertutupi oleh sebuah topi, sehingga Koyama sedikit sulit melihat ekspresi sebenarnya dari sosok yang kini terdiam itu. Ia sedang memikirkan nasihat apa lagi yang akan ia berikan sebelum akhirnya terdengarlah sebuah isakan. Merasa tidak percaya bahwa isakan itu muncul dari sosok di sebelahnya, ia menepuk pundak si pirang yang kini semakin menutupi wajah dengan topinya.
Saat itu, Koyama pun menyadari bahwa sosok berhati kuat yang selalu menarik grupnya untuk berlari itu ternyata tetaplah manusia biasa yang bisa terluka. Koyama pun menyadari bahwa Tegoshi Yuya yang selalu menyembunyikan kesedihannya itu ternyata tetaplah Tegoshi Yuya yang bisa dengan mudahnya menangis.
Koyama pun menyadari bahwa ia harus selalu melindungi rekan sesama grupnya itu agar tetap berdiri tegak seperti biasanya, agar senyum rekan yang ia sayangi itu tetap terjaga.
"...karena itu, apakah besok akan baik-baik saja, ya?"
Koyama tersenyum. Pikirannya kembali terpusat pada Tegoshi yang kini sedang tersenyum ke langit-langit Tokyo Dome. Serangkaian flashback yang terjadi di ingatannya barusan seakan-akan kembali menyadarkannya bahwa sosok di sampingnya ini sudah mulai menunjukkan perasaan yang ia tahan sebelumnya.
"Tak apa," ujar Koyama. Lengannya ia lingkarkan ke pundak Tegoshi yang lebih rendah darinya itu. Tegoshi hanya menoleh sedikit ke arahnya. Ia hendak berkata sesuatu sebelum akhirnya Koyama melanjutkan kalimatnya, "Tak apa, Tegoshi. Kau tidak sendiri. Ada Shige, ada Massu, ada aku. Dan yang pasti, ada para Konekochan-mu yang datang dengan senyuman mereka. Jangan sedih lagi. Kau punya kami, oke?"
Kali ini senyuman Tegoshi melebar. Merasakan sebelah pundaknya yang kini ditepuk dengan tegas, lelaki pirang itu menaikkan dagunya.
"Aku tidak akan menangis!" serunya, yang disambut dengan tawa kecil Koyama.
"Kalaupun kau menangis--seperti waktu itu lagi, ada aku di sini yang akan selalu mendengar ceritamu," balas Koyama sambil mengeratkan rangkulannya.
Tegoshi tertawa kecil. Dengan kembali menatap jauh ke hamparan kursi di lantai tiga, ia menghembuskan satu napas dengan tegas. Tatapannya sudah bukan tatapan yang pertama kali dilihat Koyama ketika ia datang menghampirinya tadi. Tatapannya kali ini adalah tatapan yang sangat dikenali Koyama, tatapan Tegoshi Yuya yang selalu berada di depan dan menarik grupnya untuk berlari.
Tanpa kata, Koyama perlahan berdiri. Ia memberikan sebelah tangannya ke arah Tegoshi dan disambut oleh lelaki pirang itu. Mereka sama sama memandangi puluhan ribu kursi yang terhampar di hadapan mereka itu sekali lagi sebelum akhirnya Koyama merasakan bahwa tangannya ditarik.
"Ayo pulang. Ah, sepertinya jam segini masih ada restoran yang buka. Traktir ya!" seru Tegoshi sambil tetap menarik tangan Koyama. Koyama tertawa kecil sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya.
Apapun, asalkan aku bisa tetap menjaga senyummu, Tegoshi.
Di depan hamparan puluhan ribu kursi dan lampu yang hanya dihidupkan beberapa itu, seseorang sedang duduk membelakanginya. Jaketnya yang berwarna biru kontras sekali dengan sekelilingnya yang gelap, menambah aura sepi yang dirasakan Koyama terhadap sosok itu.
Merasa harus melakukan sesuatu, Koyama berjalan perlahan mendekatinya. Ia hanya tinggal berjarak beberapa langkah sebelum akhirnya sosok itu menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu. Dan Koyama merasakan ada yang berbeda dari sorot mata yang sudah sangat dikenalnya itu.
"Belum pulang, Tegoshi?" Koyama memulai pembicaraan, seperti biasa.
Menghembuskan napasnya secara perlahan, Tegoshi Yuya kembali menghadapkan kepalanya ke hamparan kursi di hadapannya. Pandangannya jauh menembus ke tingkat ketiga bangunan ini. Ia tetap dalam posisinya selama beberapa detik sebelum akhirnya kembali menoleh ke arah Koyama yang kini duduk di sebelahnya. Kali ini, ia menatap sosok yang lebih tua itu dengan senyum lebar.
"Aku nggak sabar ketemu Konekochan besok!" serunya dengan senang—yang Koyama tangkap sebagai pura-pura-senang. "Aaah, Tokyo Dome selalu jadi tempat terakhir yaa. Sedih banget bentar lagi tur NEWS selesai. Tau nggak, tadi—"
Koyama hanya tersenyum mendengarkan Tegoshi yang terus saja bercerita panjang lebar soal rehearsal mereka sebelumnya. Ia tahu, Tegoshi benar-benar menyukai bercerita tentang segala yang berhubungan dengan konser. Ia tahu, Tegoshi benar-benar bersemangat untuk hari terakhir dari serangkaian tur konser NEVERLAND mereka ini.
Dan ia tahu, Tegoshi menahan satu perasaan yang bertolak belakang dengan segala kesenangan yang sedang ia ceritakan itu.
Masih sangat berbekas di ingatannya, bagaimana beberapa hari yang lalu ia menerima telepon dari Tegoshi. Saat itu waktu menunjukkan hampir tengah malam dan Koyama sudah akan bersiap untuk tidur ketika ponselnya berdering.
"Keichan, datanglah ke sini," lirih suara di seberang sana. Lirih, sangat lirih. Koyama sampai tidak yakin kalau itu adalah suara dari nama yang tertera di layar ponselnya itu.
Tanpa menimbang-nimbang pilihan, ia mengiyakan permintaan rekan satu grupnya itu.
Dan dua puluh menit kemudian, ia melihat sosok yang biasanya berdiri tegap membusung itu sedang meringkuk di pojok ruangan.
Awalnya ia tidak terlalu paham dengan apa yang terjadi. Ia hanya mendengarkan cerita dari rekannya tersebut. Rambut pirangnya tertutupi oleh sebuah topi, sehingga Koyama sedikit sulit melihat ekspresi sebenarnya dari sosok yang kini terdiam itu. Ia sedang memikirkan nasihat apa lagi yang akan ia berikan sebelum akhirnya terdengarlah sebuah isakan. Merasa tidak percaya bahwa isakan itu muncul dari sosok di sebelahnya, ia menepuk pundak si pirang yang kini semakin menutupi wajah dengan topinya.
Saat itu, Koyama pun menyadari bahwa sosok berhati kuat yang selalu menarik grupnya untuk berlari itu ternyata tetaplah manusia biasa yang bisa terluka. Koyama pun menyadari bahwa Tegoshi Yuya yang selalu menyembunyikan kesedihannya itu ternyata tetaplah Tegoshi Yuya yang bisa dengan mudahnya menangis.
Koyama pun menyadari bahwa ia harus selalu melindungi rekan sesama grupnya itu agar tetap berdiri tegak seperti biasanya, agar senyum rekan yang ia sayangi itu tetap terjaga.
"...karena itu, apakah besok akan baik-baik saja, ya?"
Koyama tersenyum. Pikirannya kembali terpusat pada Tegoshi yang kini sedang tersenyum ke langit-langit Tokyo Dome. Serangkaian flashback yang terjadi di ingatannya barusan seakan-akan kembali menyadarkannya bahwa sosok di sampingnya ini sudah mulai menunjukkan perasaan yang ia tahan sebelumnya.
"Tak apa," ujar Koyama. Lengannya ia lingkarkan ke pundak Tegoshi yang lebih rendah darinya itu. Tegoshi hanya menoleh sedikit ke arahnya. Ia hendak berkata sesuatu sebelum akhirnya Koyama melanjutkan kalimatnya, "Tak apa, Tegoshi. Kau tidak sendiri. Ada Shige, ada Massu, ada aku. Dan yang pasti, ada para Konekochan-mu yang datang dengan senyuman mereka. Jangan sedih lagi. Kau punya kami, oke?"
Kali ini senyuman Tegoshi melebar. Merasakan sebelah pundaknya yang kini ditepuk dengan tegas, lelaki pirang itu menaikkan dagunya.
"Aku tidak akan menangis!" serunya, yang disambut dengan tawa kecil Koyama.
"Kalaupun kau menangis--seperti waktu itu lagi, ada aku di sini yang akan selalu mendengar ceritamu," balas Koyama sambil mengeratkan rangkulannya.
Tegoshi tertawa kecil. Dengan kembali menatap jauh ke hamparan kursi di lantai tiga, ia menghembuskan satu napas dengan tegas. Tatapannya sudah bukan tatapan yang pertama kali dilihat Koyama ketika ia datang menghampirinya tadi. Tatapannya kali ini adalah tatapan yang sangat dikenali Koyama, tatapan Tegoshi Yuya yang selalu berada di depan dan menarik grupnya untuk berlari.
Tanpa kata, Koyama perlahan berdiri. Ia memberikan sebelah tangannya ke arah Tegoshi dan disambut oleh lelaki pirang itu. Mereka sama sama memandangi puluhan ribu kursi yang terhampar di hadapan mereka itu sekali lagi sebelum akhirnya Koyama merasakan bahwa tangannya ditarik.
"Ayo pulang. Ah, sepertinya jam segini masih ada restoran yang buka. Traktir ya!" seru Tegoshi sambil tetap menarik tangan Koyama. Koyama tertawa kecil sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya.
Apapun, asalkan aku bisa tetap menjaga senyummu, Tegoshi.
Komentar