[Cerpen] Euforia Malam

Ini adalah cerpen yang aku buat untuk tugas bahasa. Karena ini cerpen pengalaman, jadi nggak terlalu susah buat menggali ide.

Oke, selamat membaca, Teman~ ^^

___________________________________________

Euforia Malam

Angin malam ini berhembus pelan, menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di tanah. Bulan nampak tertutupi oleh awan, namun cahayanya dari bintang masih cukup untuk membuat malam ini tak sekelam yang aku bayangkan. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling, menikmati pemandangan alam yang tersuguhkan dengan indahnya.

Garuda Wisnu Kencana tampak menyenangkan malam ini.

Ah, benarkah begitu menyenangkan? Kelihatannya pendapatku salah. Karena sebenarnya, keadaan di sekitarku sama sekali jauh dari kata menyenangkan. Sebagian dari teman-temanku kini menunduk, menatap cangkir kopi susu mereka masing-masing. Sebagian lain tampak menyibukkan diri dengan handphone-nya, yang aku tahu bahwa mereka pasti berusaha menghindari atmosfer kesedihan yang perlahan datang menaungi kami. Aku sendiri hanya bisa terdiam sambil menatap bintang darat di bawah sana.

Jujur, aku tidak menyukai keadaan ini.

Beberapa menit yang lalu ketika kami masih ada di dalam bis yang membawa kami ke tempat ini, kami mendapat kabar bahwa seluruh siswa tingkat akhir di sekolah kami lulus. Ya, lulus! Tentu saja kami senang. Kami bersorak gembira di dalam bis, tertawa sambil berpelukan, dan menunjukkan berbagai ekspresi kesenangan. Tapi, apa yang terjadi di taman ini sama sekali berbeda dengan keadaan di dalam bis. Tak ada sorak-sorai, tak ada tawa, tak ada senyum. Yang ada hanyalah keheningan, mulut yang terkatup rapat, dan wajah yang tertunduk. Sangat menyedihkan.

Sambil melirik ke arah teman-teman lain yang mulai memasuki pintu gerbang Garuda Wisnu Kencana, aku menyesap teh untuk sejenak menghangatkan badanku.

"Jadi, teman-teman, bagaimana ini?" sebuah suara masuk ke telingaku. Aku menoleh, mendapati salah satu dari sembilan temanku kini sedang mengedarkan pandangannya ke kami. "Bagaimana dengan danem kita?"

Dia adalah Dinda, sang ketua kelas yang tadi menyarankan kami untuk berkumpul saja mendiskusikan kelulusan daripada masuk ke kawasan wisata. Ia sesekali menggerak-gerakkan cangkir kopi susunya, terdiam menanti jawaban.

Semuanya juga terdiam, tak ada yang mau menjawab. Karena tak kunjung mendapat tanggapan, Dinda melanjutkan kalimatnya, "Bagaimana kalau danem kita tidak mencukupi masuk SMA pilihan ki—“

"Sudahlah," aku memotong kalimatnya, "Kenapa harus terlalu dipikirkan? Ayolah, kita bersenang-senang! Memangnya tujuan sekolah kita mengadakan study tour ke Bali itu untuk membuat kita sedih dan tegang memikirkan danem? Ayo teman, jangan terlalu dipikirkan. Jangan biarkan pikiran tentang danem itu menghalangi perasaan bahagia kita."

Salah satu dari temanku menghembuskan nafas panjang. "Kamu enak, Ly. Kamu udah nggak perlu mikirin danem karena udah pasti diterima di SMA pilihan kamu. Tika juga. Lalu kami? Bagaimana kalau kami tidak bisa masuk pilihan kami karena danem yang tidak mencukupi?"

Beberapa temanku tampak terisak, mungkin karena memikirkan kalimat terakhir temanku barusan. Siapa yang tidak sedih kalau impiannya terancam tidak terwujud?

"Belum tentu," kini ganti gadis yang ada di seberangku berbicara. "Aku sama Elly belum tentu diterima. Bukankah pengumumannya belum keluar?!"

Aku tertegun. Benar juga, aku belum tentu diterima di SMA pilihanku. SMA pilihanku memang memakai sistem tes dalam penerimaan murid baru. Aku dan Tika sudah mengikuti tesnya beberapa minggu yang lalu. Tapi, benar, bagaimana bila aku tidak diterima? Bagaimana bila danemku rendah? Bagaimana bila—akh, kenapa aku jadi memikirkan hal ini?

"Mungkin kalimat Elly ada benarnya." Dinda bangkit dan meletakkan cangkir kopi susunya di atas meja. "Kita tidak semestinya terlalu memikirkan jumlah danem. Siapa tahu SMA pilihan kita itu tidak jadi memakai sistem danem? Kita juga belum tahu sistem penerimaan siswa baru SMA itu, kan?!"

Beberapa temanku yang tadinya menunduk mulai mendongak, menatap Dinda yang kini sedang tersenyum. Aku juga ikut tersenyum. Dan sedetik setelahnya, mereka perlahan berdiri dari duduk mereka dengan senyum.

“Aku setuju,” sahut Indah, gadis yang duduk di sebelah Dinda. Ia memasukkan kedua tangannya ke saku jaketnya.

“Baiklah kalau begitu. Kita berdoa saja agar danem kita sama-sama bagus dan kita bisa diterima di SMA pilihan kita. Yang penting, kan, kita dulu sudah mengerjakan soal-soal ujian dengan baik. Kita harus bisa berfikir positif.” Dinda memandang berkeliling. “Ya, kan?!”

Semuanya mengangguk, termasuk aku.

“Hapus semua kesedihan kalian. Sekarang kita isi sisa malam ini dengan hal yang menyenangkan. Ada yang punya usul kita ngapain?” tanya Indah.

Gadis berambut panjang yang duduk di sebelah Tika bersorak, “Main kucing-kucingan! Ayo, aku kucingnya. Siapa yang aku tangkap, dia yang kalah!”

Seketika itu juga, gerombolan yang tadinya terlihat rapi dalam suatu lingkaran kecil kini berhamburan ke sana ke mari. Kami berusaha menghindar dari cengkraman Putri yang kelihatannya tidak akan pernah lelah menjalankan tugasnya sebagai “kucing” untuk menangkap “tikus-tikus” seperti kami ini. Dan aku sangat menikmati keadaan  ini.

Sorak sorai yang tadinya hilang kini kembali. Tawa yang tadinya hilang kini kembali. Dan ekpresi kebahagiaan yang tadinya hilang kini kembali.

Hm, kelihatannya pendapat awalku tadi tidak sepenuhnya salah.

Garuda Wisnu Kencana...memang sangat menyenangkan malam ini.

End 

Komentar

Nuzul Romadona mengatakan…
Wah! Wah! Wah! :D)
Alurnya bagus banget,Dek... :D
Pitik pinter banget..MaBi bener2 terbawa alur ceritanya... :)

Nggak pingin coba ikut lagi yang kayak kemarin,Dek? Yang akhirnya tulisan Pitik dimuat itu.... :)
Elly Fitriana mengatakan…
Makasih Bi~ XD
Pitik kira malah alurnya kecepeten o... Hehe... :D

Pingin bi... Tapi pitik masih dalam proses buat berdiri lagi setelah terjatuh sekian lama... Sulit bi, tapi pitik akan berusaha! XD